Juli 02, 2008

guruku orang pesantren

Judul Buku : Guruku Orang-orang dari Pesantren
Pengarang : K. H. Saifuddin Zuhri
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan : I, September 2001
Tebal buku : xiv + 384 halaman, 12 x 18 cm
Sebutir Mutiara dari Pesantren
Membicarakan tentang pesantren memiliki keunikan tersendiri. Ini karena pesantren merupakan subkultur tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Ketahanannya membuat pesantren tidak mudah menerima suatu perubahan yang datang dari luar, karena pesantren memiliki benteng tradisi tersediri. Tradisi kerakyatan dalam mengabdi kepada Allah swt dan menyebarkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu tokoh dari kalangan pesantren yang berhasil menduduki jabatan pemerintahan pada masa lalu adalah KH Saifuddin Zuhri. Beliau adalah seorang tokoh pesantren, pejuang, plolitisi dan mantan jurnalis. Dimuali belajar di Madrasah Al-Huda yang cuma menempati sebuah langgar kecil milik Mbah haji Abdul Fatah (hlm. 19)




Pada tahun 1936, ketika berusia 17 tahun Saifuddin Zuhri sudah mulai menjadi guru. Ketika itu ia duduk di kelas terakhir di Madrasah Al-Huda. Mesipun belum betul-betul menjadi guru karena sekedar menjadi musa’id, yaitu pembantu guru. Baru pada permulaan tahun 1938 Zuhri pulang dari Solo dengan menggondol ijazah, ia benar-benar telah menjadi seorang guru. Ia mengajar di Madrasah Nadlatul Ulama, di isamitisch Western School, dan Kulliyat al-Muallimin wa al-Muballighin. (hlm. 134). Dalam mengajar Zuhri menerangkan bahwa kewajiban guru adalah menddiik murid-muridnya. Arti mendidik menkacup tiga perkara. Mendidik jasmani murid-murid agar memiliki tubuh yang sehat, ringan kaki, cekatan dan riang gembira. Mendidik otak murid-murid, agar memiliki kecerdasan berpiki dan mempunyai ilmu pengtetahuan sesuai dengan tingkat usianya. Dan pendidikan ruhani murid-murid, agar mereka memiliki perangai atau akhlak yang mulia, benar kata-katanya, jujur perbuatnnya, mengabdi kepada Allah swt dan berbakti kepada orang tuanya dan bangsanya.
Begitulah seterusnya sehingga pada suatu hari tahun 1942 Zuhri mendapat panggilan dari KH A. Wahid Hasyim agar menemuinya di Jakarta (hlm. 228). Meskipun buku ini bercerita tentang KH Saifuddin Zuhri namun begitu bukanlah suara khas Kiai Saifuddin, tetapi telah menjadi perasaan umum kalangan pesantren di tahun-tahun 1960-an dan 1970-an. Kiai Saifuddin beruntung bisa mengartikulasikan perasaan ini. Tahun-tahun itu, seperti kita tahu, dunia pesantren sering dipandang sebagai sarang kejumudan dan keterbelakangan. Ia dianggap tidak memiliki peran dalam membangun nasionalisme, merebut kemerdekaan, dan kemudian mengisi kemerdekaan itu dengan nation building. Pesantren tak memiliki inovasi dan kreatifitas. Bias modernisme telah menyudutkan sub-kultur pesantren di bagian pojok dari ruang masyarakat-bangsa. Itulah bagian-bagian dari “salah pengertian” yang hendak dicairkan oleh Kiai saifuddin Zuhri.
Apa yang diinginkan Kiai Saifuddin mungkin cukup jauh melampaui apa yang dibayangkannya. Pertama, buku berbentuk otobiografi, kala itu, bukan saja masih sangat langka ditulis oleh kalangan dunia pesantren, tetapi juga bahkan oleh tokoh-tokoh di luar pesantren. Kedua, kendati ini otobiograf, tetapi tokoh Saifuddin Zuhri bukanlah sentral di dalamnya. Dunia pesantrenlah yang mengemuka. Karena itu, yang muncul kemudian bukanlah suatu snob atau latah seorang tokoh –gejala yang kerap muncul dalam biografi/otobiografi-, tapi mozaik dan pernik dunia pesantren yang “sering diartikan umum secara salah bahkan disertai penilaian yang negatif” itu. Melalui karya inilah, masyarakat luar tahu tentang peranan pesantren dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, mengembangkan nasionalisme dan membentuk karakter bangsa. Ketiga, dengan mozaik dan pernik dunia pesantren yang dilukiskannya secara hidup dan dalam, buku ini mengisi kekosongan karya-karya ilmiah mengenai dunia pesantren saat itu. Dengan bahasanya yang sederhana, mengalir dan terkesan polos, buku ini memaparkan pandangan hidup para kiai dan santri, liku-liku kehidupan sehari-hari pesantren, hubungan pesantren dengan kesenian, kisah muda mudi pesantren, dan tak terkecuali, sense of humor pesantren yang demikian kaya.
Namun kalau kita mengetahui sekarang telah banyak karya-karya ilmiah mengenai dunia pesantren. Baik ysng setingkat kripsi, tesis, maupun disertasi, atau penelitian-penelitian lepas dan reportase jurnalistik. Akan tetapi, buku ini tetap memiliki tempatnya sendiri, terutama pada nilia historis dan etnografis dari folklore dunia pesantren yang ditampilkannya. Meskipun sebagian besar cerita ini sekarang hanya da ada pada masa lalu dan menjadi ingatan warga pesantren. Dimana pesantren sekarang jelas telah jauh berubah dan telah jauh bergeser




Tidak ada komentar: